Tinjauan Pustaka
I. Konsep
Pengelolaan Desa di Indonesia
Desa-desa di Indonesia memiliki
karateristik yang berbeda dan karenanya akan membutuhkan penanganan yang
berbeda pula. Eko Sutoro, peneliti lembaga IRE Yogyakarta merujuk pada penelitiannya
untuk menunjukkan beragamnya desa di Indonesia. Secara agak teoritik, Eko
Sutoro dkk menyebut berdasarkan aspek sosial-politik, setidaknya ada empat
empat macam institusi lokal: parochial
institutions, indigenous institutions, corporatist institutions dan civil institutions.
Perbedaan karakter desa dengan demikian berimplikasi pada pentingnya
merumuskan upaya 'pengelolaan' desa secara berbeda pula. Eko Sutoro mencatat,
paling tidak ada empat pola inisiatif pembaharuan di desa.
“Pola
pertama ialah rekognisi dimana merupakan kombinasi antara inisiatif dari atas dan inisiatif dari dalam.
Rekognisi dalam hal ini dilihat sebagai
pengakuan pemerintah terhadap otonomi asli, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Praktiknya, kalau pemerintah
akan memperkuat desa maka tidak
perlu membentuk lembaga-lembaga baru, melainkan
mengakui, mendukung dan memperkuat aset dan institusi yang udah ada. Kedua, emansipasi,
yaitu kombinasi antara inisiatif dari dalam dan inisiatif dari bawah. Artinya, desa secara mandiri bangkit,
berperan dan menggerakkan
potensi lokal yang dimiliknya. Ketiga, fasilitasi yang merupakan kombinasi antara inisiatif
dari luar dan dari bawah. Dalam pengertian
ini, maka komponen sektor ketiga (Perguruan Tinggi, NGOs dan donor internasional) mendorong, memudahkan
dan mengembangkan kapasitas desa
untuk membangun dirinya. Sebagai contoh adalah peran NGO memberikan pelatihan dan memfasilitasi desa mengembangan potensi desa dan menyusun RPJMDes. Keempat,
intervensi,
dimana kombinasi antara
inisiatif dari atas dan dari luar dilakukan. Disini kemitraan antara pemerintah dan sektor ketiga mendesain program
dari atas kemudian diterapkan
secara langsung di desa, seperti dijalankan oleh PNPM Mandiri” (Sutoro, 2012)
Inisiatif pengelolaan desa yang datang dari luar desa memang tidak semuanya
akan berujung pada intervensi. Pengelolaan berbasis rekognisi atau fasilitasi
dapat membantu institusi lokal (desa) menjadi lebih kuat dan mandiri selama ia
diberi kesempatan dan kebebasan dalam mengelola dirinya sendiri, meskipun
memperoleh bantuan dari luar. Namun sebaliknya, upaya inisiatif dari luar yang
tidak memberi kesempatan kepada desa untuk mengembangkan dirinya sendiri akan
berakhir dengan kegagalan. PNPM menjadi bukti terbaru dari cerita pilu ini.
Dibiayai dari hutang luar negeri yang melimpah, proyek PNPM sejatinya
berupaya
menancapkan mantra-mantra good governance secara sama rata ke seluruh
desa. Sayangnya, impian pemberdayaan berganti menjadi ketergantungan.
Suara-suara sumbang terhadap PNPM bermunculan dengan progamnya sendiri kini
berada di ambang kegagalan. Nampaknya makin jelas di mata kita, setiap upaya
inisiatif dari luar untuk pembaharuan desa, termasuk good governance dengan
jargonnya tentang partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan melancarkan
mekanisme pasar, tidak akan berhasil, selama tidak menyertakan inisiatif dari
bawah (desa) itu sendiri. Bukannya mendorong pengelolaan tata pemerintahan yang
baik, inisiatif dari luar dan dari atas sekaligus yang terkandung dalam good
governance justru dapat mengarahkan pada terciptanya bad governance di
desa.
II. Konsep Good
Governance
Dalam penelitian ini objek yang akan
dikaji adalah konsep mengenai Good
Governance sebagai sebuah paradigm yang dilahirkan dan dibangun dalam
rangka mewujudkan pemerintahan yang efektif – efisien dan terasa kehadirannya
bagi segenap elemen – elemen yang hidup dalam
nauangan bangsa dan negara.
Secara
analitis, kata governance menurut
World Bank, dikutip oleh Sadu Wasistiono
dalam bukunya Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang
menyatakan bahwa arti governance,
yaitu :
“the
way state power is used in managing economic and
social resources for development
society”. Dari pengertian di atas diperoleh gambaran bahwa “governance” adalah cara, yakni
cara bagaimana kekuasaan negara digunakan
untuk mengelola sumberdaya - sumberdaya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. Cara lebih
menunjukkan pada hal-hal yang
bersifat teknis” (Wasistiono : 2003).
Berdasarkan pengertian di atas maka governance hadir sebagai entitas yang mempunyai kekuasaan yang
legal formaluntuk mengatur bagaimana sumberdaya – sumberdaya baik yang bersifat
materiil maupun nirmateriil tersebut dapat didistribusikan secara berkeadilan,
yang didukung pertumbuhannya dan diratakan atas pemanfaatan sumberdaya tersebut
seoptimal mungkin bagi sebesar – besaranya kesejahteraan rakyat dalam
pembangunan masyarakat.
Sejalan
dengan pendapat World Bank di atas, UNDP yang merupakan organisasi
internasional di bawah naungan PBB mengemukakan definisinya mengenai governance, sebagai :
“the exercise of political, economic
and administrative authority to manage a
nation’s affair at all levls”. Dengan demikian kata governance berarti penggunaan atau pelaksanaan, yakni
penggunaan kewenangan politik,
ekonomi dan administrative untuk mengelola masalah – masalah nasional pada semua tingkatan. Di sini
tekanannya pada kewenangan, kekuasaan
yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berbicara kewenangan berarti menyangkut domain
sektor publik” (Wasistiono : 2003).
Pada
tahun 2000 LAN bersama BPKP menerangkan konsep governance dari UNDP. Dari hasil kajiannya governance didukung oleh tiga kaki yakni politik, ekonomi serta
administrasi.
“Kaki
pertama, yaitu tata pemerintahan di bidang politik dimasukkan ke sebagai proses – proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik, baik dilakukan oleh birokrasi
sendiri maupun oleh birokrasi bersama
– sama politisi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan tidak hanya tataran implementasi
seperti selama ini terjadi, melainkan
mulai dari formulasi, evaluasi sampai pada implementasi.
Kaki
kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses – proses pembuatan keputusan untuk
memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam
negeri dan interaksi di antara penyelenggaraan ekonomi. Sektor pemerintah diharapkan tidak
terlampau terjun langsung pada sektor ekonomi
karena akan dapat menimbulkan distorsi mekanisme pasar.
Sedangkan kaki ketiga, yaitu tata pemerintahan di bidang administratif adalah berisi implementasi proses
kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi
politik” (Wasistiono : 2003).
III.
Desentralisasi dan Otonomi Desa
Pemerintahan Desa
1.
Desa adalah suatu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asasi usul yang bersifat
istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai pemerintahan desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, itonomiasli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat.
2.
Penyelenggaraan pemerintahan desa
merupakan sunsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kepala
desa bertanggungjwab kepada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tersebut kepada bupati.
3.
Desa dapat melakukan perbuatan hukum,
baik hukum publik maupun perdata, memiliki kekayaan, harta benda dan bangunan
serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu desa dengan
persetujuan Badab Perwakilan Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.
4.
Sebagau wujud demokrasi, di desa
dibentuk Badan Perwakilan Desa yang sesuai dengan budaya yang berkembang di
desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan
dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan
Keputusan Desa.
5.
Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan
desa lainnya sesuai dengan kebutuhan desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa
merupakan mitra pemerintah desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa
(Widjaja, 2003).
Otonomi Desa
Pengertian
tentang kewenangan sesuatu daerah hukum yang dilukiskan dengan istilah asing,
“otonomi”- dalam bahasa Indonesia: hak untuj mengatur dan mengurus “rumah
tangga” sendiri- dalam hukum adat sebenarnya tidak dikenal oleh bangsa
Indonesia. Pengertian tentang otonomi desa itu adalah ciptaan bangsa Belanda,
waktu mereka masih memegang kekuasaan di sini. Hukum adat yang mengatur segenap
peri kehidupan rakyat di desa tidak membeda-bedakan (memisahkan) peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antara orang-orang sebagai manusia perseorangan dari
peraturan-peraturan yang mengatur tata desa sebagai daerah hukum, juga tidak
dari dari peraturan-peraturan yang yang mengatur kepercayaan, cara orang
berbakti kepada Tuhan dan kepada roh suci cikal bakal (danyang-desa). Perbedaan
antara publik dan privaatrecht misalnya seperti yang lazim diadakan dalam dunia
Barat yang asalnya hukum Romawi, di desa tidak dikenal orang. Hukum yang
mengatur tiga bidang peri kehidupan rakyat di desa tersebut di atas (hukum
sipil, sosial, hukum pemerintahan dan hukum keagamaan atau kepercayaan)
merupakan rangkaian peraturan yang tali temali dan tidak mungkin dipisahkan
satu dari yang lain (Sutardjo
Kartohadikoesomo, 1965).
Jika kita berbicara tentang desentralisasi desa, maka ada
3 hal yang perlu diperhatikan, menurut Prof. Utang Suwaryo yang disampaikan
dalam makalahnya yang disampaikan pada Kuliah di Program Magister Ilmu
Pemerintahan Universitas Islam “45” Bekasi:
1.Desentralisasi
politik (devolusi) yang membagi kekuasaan dan kewenangan dari negara kepada
desa.
2.Desentralisasi pembangunan yakni membagi dan memastikan desa sebagai
entitas lokal yang berwenang merumuskan perencanaan sendiri (local self
planning), bukan sekedar bottom up planning.
3.Desentralisasi
keuangan, yakni transfer dana dari negara (bukan kabupaten/kota) kepada desa
untuk membiayai pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa. (Utang Suwaryo)
Posisi daerah dan desa merupakan
persoalan yang sangat krusial dalam formasi
hierarkis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Daerah mempunyai posisi yang tunggal dan relatif clear, yaitu adanya sebagai local-self
government atau sering disebut “daerah otonomom”. Dengan skema desentralisasi daerah negara
mengakui dan/atau membentu daerah, sekaligus
membagi (menyerahkan) kekuasaan, kewenangan dan sumberdaya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat.
Sebagai local-self government (bukan
sekedar local- state government). Daerah mempunyai kewenangan dan keleluasaan
mengelola kepemerintahan secara lokal dan mandiri
(tidal berdaulat), atau mempunyai
subsdiarity (menggunakan kewenangan
dan mengambil keputusan secara lokal).
Desa tidak mempunyai posisi yang
tunggal dan clear seperti posisi
daerah itu. Posisi desa tampak ganda dan ambigu, sehingga
tidak jelas dan sangat sulit. Di satu
sisi, Karen alas an historis-sosiologis, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum (selg-governing community), yang membuatnya
disebut sebagai “otonomi asli” berdasarkan hak dan kewenangan asal-usul atau adat setempat. Posisi ini hampir sama
dengan komunitas lokal (commune) yang telah lama eksis di Eropa.
Daerah sama sekali tidak mempunyai
self-governing community itu.
Dibandingkan dengan daerah
yang mempunyai domain sangat luas, domain desa sangat terbatas (IRE, 2005).
Empat Tipe Kewenangan Desa
1. Kewenagan
generik (asli), sering disebut hak atau kewenagan asal-usul yang melekat pada
desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing
community)
2. Kewenagan
devolutif, yaitu kewenangan yang melekat kepada desa karena posisinya
ditegaskan sebagai pemerintahan lokal (local-self
government).
3. Kewenagan
distributif, yakni kewenangan bidang pemerintahan yang dibagi oleh pemerintah
kepada desa.
4. Kewenangan
“negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan dari pemerintah jika
tidak disertai dana pendukungnya atau jika tugas itu tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat setempat.
Tetapi, sekarang, kewenangan generic bukan hanya susah untuk diingat
kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur. Komunitas adat (desa adat) yang paling
banyak menderita atas kehancuran kewenangan generik. Adat telah kehilangan
eksistensinya sebagai subyek hukum dalam mengelelola property right.
Desentralisasi politik desa tentu harus memberikan pengakuan dan
sekaligus melakukan pemulihan terhadap sejumlah kewengan generik yang sudah
lama dimiliki desa. Salah satu yang krusial untuk direvitalisasi adalah peneguhan entitas lokal sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan, terutama tanah
dan hukum adat. Penyatuan antara desa negara dan desa adat menjadi sangat
penting, yakni kemudian ditentukan batas-batas wilayah dan kewenangan lokal.
Jika problem generik ini sudah clear dengan
format “desa baru” (yang mempunyai batas-batas wilayah dan kewenagan secara
jelas), maka langkah berikutnya adalah melakukan distribusi kewenangan kepada
desa.
Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang ,elekat kepada desa
karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government),
meski desa belum diakui sebagai entitas otonom seperti kabupaten/kota. Desa,
sebagai sebdaagai bentuk pemerintahan lokal sekarang mempunyai perangakt
pemerintahn desa (eksekutif) dan Badan Perwakilan Desa (BPD sebagai oerangkat legislative)
yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa itu sendiri.
Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenagna mengelola urusan (bidang)
pemerintahan yang dianggap (bukan sekadar
delegasi) pemerintahan kepada desa.
Jika mengikuti UU No. 22/1999. Kewenangan distributif ini disebut
sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam praktiknya sering dikritik
sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena
desa hanya memiliki kewenangan sisa (karena semua tekah diambil kabupaten/kota)
yang tidak jelas dari supradesa. (IRE, 2005)
DAFTAR PUSTAKA
Rozaki, Abdur, 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, IRE Press, Yogyakarta.
Wastitiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media,
Bandung
Widjaja, HAW, 2003, Otonomi Desa, PT Raja Grafindo Pustaka, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar