Rabu, 08 Mei 2013

KAJIAN TENTANG PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DI DESA : ANTARA OTONOMI DAN INTERVENSI DALAM TATA PEMERINTAHAN DESA



Tinjauan Pustaka

I. Konsep Pengelolaan Desa di Indonesia

            Desa-desa di Indonesia memiliki karateristik yang berbeda dan karenanya akan membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Eko Sutoro, peneliti lembaga IRE Yogyakarta merujuk pada penelitiannya untuk menunjukkan beragamnya desa di Indonesia. Secara agak teoritik, Eko Sutoro dkk menyebut berdasarkan aspek sosial-politik, setidaknya ada empat empat macam institusi lokal: parochial institutions, indigenous institutions, corporatist institutions dan civil institutions.
      Perbedaan karakter desa dengan demikian berimplikasi pada pentingnya merumuskan upaya 'pengelolaan' desa secara berbeda pula. Eko Sutoro mencatat, paling tidak ada empat pola inisiatif pembaharuan di desa.
            “Pola pertama ialah rekognisi dimana merupakan kombinasi antara inisiatif dari atas dan inisiatif dari dalam. Rekognisi dalam hal ini dilihat sebagai pengakuan pemerintah terhadap otonomi asli, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Praktiknya, kalau pemerintah akan      memperkuat desa maka tidak perlu membentuk lembaga-lembaga baru,    melainkan mengakui, mendukung dan memperkuat aset dan institusi yang  udah ada. Kedua, emansipasi, yaitu kombinasi antara inisiatif dari dalam dan inisiatif dari bawah. Artinya, desa secara mandiri bangkit, berperan dan menggerakkan potensi lokal yang dimiliknya. Ketiga, fasilitasi yang  merupakan kombinasi antara inisiatif dari luar dan dari bawah. Dalam pengertian ini, maka komponen sektor ketiga (Perguruan Tinggi, NGOs  dan donor internasional) mendorong, memudahkan dan mengembangkan kapasitas desa untuk membangun dirinya. Sebagai contoh adalah peran NGO memberikan pelatihan dan memfasilitasi desa mengembangan potensi desa dan menyusun RPJMDes. Keempat, intervensi, dimana kombinasi antara inisiatif dari atas dan dari luar dilakukan. Disini    kemitraan antara pemerintah dan sektor ketiga mendesain program dari atas kemudian diterapkan secara langsung di desa, seperti dijalankan oleh     PNPM Mandiri” (Sutoro, 2012)

      Inisiatif pengelolaan desa yang datang dari luar desa memang tidak semuanya akan berujung pada intervensi. Pengelolaan berbasis rekognisi atau fasilitasi dapat membantu institusi lokal (desa) menjadi lebih kuat dan mandiri selama ia diberi kesempatan dan kebebasan dalam mengelola dirinya sendiri, meskipun memperoleh bantuan dari luar. Namun sebaliknya, upaya inisiatif dari luar yang tidak memberi kesempatan kepada desa untuk mengembangkan dirinya sendiri akan berakhir dengan kegagalan. PNPM menjadi bukti terbaru dari cerita pilu ini. Dibiayai dari hutang luar negeri yang melimpah, proyek PNPM sejatinya
berupaya menancapkan mantra-mantra good governance secara sama rata ke seluruh desa. Sayangnya, impian pemberdayaan berganti menjadi ketergantungan. Suara-suara sumbang terhadap PNPM bermunculan dengan progamnya sendiri kini berada di ambang kegagalan. Nampaknya makin jelas di mata kita, setiap upaya inisiatif dari luar untuk pembaharuan desa, termasuk good governance dengan jargonnya tentang partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan melancarkan mekanisme pasar, tidak akan berhasil, selama tidak menyertakan inisiatif dari bawah (desa) itu sendiri. Bukannya mendorong pengelolaan tata pemerintahan yang baik, inisiatif dari luar dan dari atas sekaligus yang terkandung dalam good governance justru dapat mengarahkan pada terciptanya bad governance di desa.

II. Konsep Good Governance
           
            Dalam penelitian ini objek yang akan dikaji adalah konsep mengenai Good Governance sebagai sebuah paradigm yang dilahirkan dan dibangun dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efektif – efisien dan terasa kehadirannya bagi segenap elemen – elemen yang hidup dalam  nauangan bangsa dan negara.
           
            Secara analitis, kata governance menurut World Bank, dikutip oleh  Sadu Wasistiono dalam bukunya Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa arti governance, yaitu :
            “the way state power is used in managing economic and social resources    for development society”. Dari pengertian di atas diperoleh gambaran           bahwa “governance” adalah cara, yakni cara bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumberdaya - sumberdaya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. Cara lebih menunjukkan pada hal-hal             yang bersifat teknis” (Wasistiono : 2003).

            Berdasarkan  pengertian di atas maka governance hadir sebagai entitas yang mempunyai kekuasaan yang legal formaluntuk mengatur bagaimana sumberdaya – sumberdaya baik yang bersifat materiil maupun nirmateriil tersebut dapat didistribusikan secara berkeadilan, yang didukung pertumbuhannya dan diratakan atas pemanfaatan sumberdaya tersebut seoptimal mungkin bagi sebesar – besaranya kesejahteraan rakyat dalam pembangunan masyarakat.
            Sejalan dengan pendapat World Bank di atas, UNDP yang merupakan organisasi internasional di bawah naungan PBB mengemukakan definisinya mengenai governance, sebagai :
            “the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affair at all levls”. Dengan demikian kata governance     berarti penggunaan atau pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan             politik, ekonomi dan administrative untuk mengelola masalah – masalah     nasional pada semua tingkatan. Di sini tekanannya pada kewenangan,     kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berbicara             kewenangan berarti menyangkut domain sektor publik” (Wasistiono :          2003).

            Pada tahun 2000 LAN bersama BPKP menerangkan konsep governance dari UNDP. Dari hasil kajiannya governance didukung oleh tiga kaki yakni politik, ekonomi serta administrasi.
            Kaki pertama, yaitu tata pemerintahan di bidang politik dimasukkan ke     sebagai proses – proses pembuatan  keputusan untuk formulasi kebijakan      publik, baik dilakukan oleh birokrasi sendiri maupun oleh birokrasi          bersama – sama politisi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan tidak hanya tataran implementasi seperti selama ini terjadi,           melainkan mulai dari formulasi, evaluasi sampai pada implementasi.
            Kaki kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses –    proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di       dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggaraan ekonomi. Sektor             pemerintah diharapkan tidak terlampau terjun langsung pada sektor             ekonomi karena akan dapat menimbulkan distorsi mekanisme pasar.        
            Sedangkan kaki ketiga, yaitu tata pemerintahan di bidang administratif       adalah berisi implementasi proses kebijakan yang telah diputuskan oleh             institusi politik” (Wasistiono : 2003).


III. Desentralisasi dan Otonomi Desa

            Pemerintahan Desa
1.       Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asasi usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, itonomiasli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
2.       Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sunsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kepala desa bertanggungjwab kepada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tersebut kepada bupati.
3.       Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun perdata, memiliki kekayaan, harta benda dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu desa dengan persetujuan Badab Perwakilan Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.
4.       Sebagau wujud demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Desa.
5.       Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan desa lainnya sesuai dengan kebutuhan desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa merupakan mitra pemerintah desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa (Widjaja, 2003).
Otonomi Desa
Pengertian tentang kewenangan sesuatu daerah hukum yang dilukiskan dengan istilah asing, “otonomi”- dalam bahasa Indonesia: hak untuj mengatur dan mengurus “rumah tangga” sendiri- dalam hukum adat sebenarnya tidak dikenal oleh bangsa Indonesia. Pengertian tentang otonomi desa itu adalah ciptaan bangsa Belanda, waktu mereka masih memegang kekuasaan di sini. Hukum adat yang mengatur segenap peri kehidupan rakyat di desa tidak membeda-bedakan (memisahkan) peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara orang-orang sebagai manusia perseorangan dari peraturan-peraturan yang mengatur tata desa sebagai daerah hukum, juga tidak dari dari peraturan-peraturan yang yang mengatur kepercayaan, cara orang berbakti kepada Tuhan dan kepada roh suci cikal bakal (danyang-desa). Perbedaan antara publik dan privaatrecht misalnya seperti yang lazim diadakan dalam dunia Barat yang asalnya hukum Romawi, di desa tidak dikenal orang. Hukum yang mengatur tiga bidang peri kehidupan rakyat di desa tersebut di atas (hukum sipil, sosial, hukum pemerintahan dan hukum keagamaan atau kepercayaan) merupakan rangkaian peraturan yang tali temali dan tidak mungkin dipisahkan satu dari yang lain (Sutardjo Kartohadikoesomo, 1965).


            Jika kita berbicara tentang desentralisasi desa, maka ada 3 hal yang perlu diperhatikan, menurut Prof. Utang Suwaryo yang disampaikan dalam makalahnya yang disampaikan pada Kuliah di Program Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Islam “45” Bekasi:
1.Desentralisasi politik (devolusi) yang membagi kekuasaan dan kewenangan dari negara kepada desa.
2.Desentralisasi pembangunan yakni membagi dan memastikan desa sebagai entitas lokal yang berwenang merumuskan perencanaan sendiri (local self planning), bukan sekedar bottom up planning.
3.Desentralisasi keuangan, yakni transfer dana dari negara (bukan kabupaten/kota) kepada desa untuk membiayai pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa. (Utang Suwaryo)

            Posisi daerah dan desa merupakan persoalan yang sangat krusial dalam       formasi hierarkis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Daerah mempunyai posisi yang tunggal dan relatif clear, yaitu adanya sebagai             local-self government atau sering disebut “daerah otonomom”. Dengan       skema desentralisasi daerah negara mengakui dan/atau membentu daerah,            sekaligus membagi (menyerahkan) kekuasaan, kewenangan dan             sumberdaya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan      masyarakat setempat. Sebagai local-self government (bukan sekedar local-   state government). Daerah mempunyai kewenangan dan keleluasaan             mengelola  kepemerintahan secara lokal dan mandiri (tidal berdaulat), atau             mempunyai subsdiarity (menggunakan kewenangan dan mengambil keputusan secara lokal).
            Desa tidak mempunyai posisi yang tunggal dan clear seperti posisi daerah itu.  Posisi desa tampak ganda dan ambigu, sehingga tidak jelas dan sangat sulit. Di satu sisi, Karen alas an historis-sosiologis, desa merupakan             kesatuan masyarakat hukum (selg-governing community), yang        membuatnya disebut sebagai “otonomi asli” berdasarkan hak dan       kewenangan asal-usul atau adat setempat. Posisi ini hampir sama dengan    komunitas lokal (commune) yang telah lama eksis di Eropa. Daerah sama         sekali tidak mempunyai self-governing community itu. Dibandingkan             dengan daerah yang mempunyai domain sangat luas, domain desa sangat             terbatas (IRE, 2005).

             Empat Tipe Kewenangan Desa
1. Kewenagan generik (asli), sering disebut hak atau kewenagan asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-governing community)
2. Kewenagan devolutif, yaitu kewenangan yang melekat kepada desa karena posisinya ditegaskan sebagai pemerintahan lokal (local-self government).
3. Kewenagan distributif, yakni kewenangan bidang pemerintahan yang dibagi oleh pemerintah kepada desa.
4. Kewenangan “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan dari pemerintah jika tidak disertai dana pendukungnya atau jika tugas itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Tetapi, sekarang, kewenangan generic bukan hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur. Komunitas adat (desa adat) yang paling banyak menderita atas kehancuran kewenangan generik. Adat telah kehilangan eksistensinya sebagai subyek hukum dalam mengelelola property right.
Desentralisasi politik desa tentu harus memberikan pengakuan dan sekaligus melakukan pemulihan terhadap sejumlah kewengan generik yang sudah lama dimiliki desa. Salah satu yang krusial untuk direvitalisasi  adalah peneguhan entitas lokal sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak-hak kepemilikan, terutama tanah dan hukum adat. Penyatuan antara desa negara dan desa adat menjadi sangat penting, yakni kemudian ditentukan batas-batas wilayah dan kewenangan lokal. Jika problem generik ini sudah clear dengan format “desa baru” (yang mempunyai batas-batas wilayah dan kewenagan secara jelas), maka langkah berikutnya adalah melakukan distribusi kewenangan kepada desa.
Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang ,elekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai entitas otonom seperti kabupaten/kota. Desa, sebagai sebdaagai bentuk pemerintahan lokal sekarang mempunyai perangakt pemerintahn desa (eksekutif) dan Badan Perwakilan Desa (BPD sebagai oerangkat legislative) yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan desa itu sendiri.
Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenagna mengelola urusan (bidang) pemerintahan yang dianggap (bukan sekadar delegasi) pemerintahan kepada desa.
Jika mengikuti UU No. 22/1999. Kewenangan distributif ini disebut sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam praktiknya sering dikritik sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa” karena desa hanya memiliki kewenangan sisa (karena semua tekah diambil kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa. (IRE, 2005)


DAFTAR PUSTAKA

Rozaki, Abdur, 2005, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, IRE Press, Yogyakarta.
Wastitiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung
Widjaja, HAW, 2003, Otonomi Desa, PT Raja Grafindo Pustaka, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar